Aturan SAF 1 Persen

Indonesia Siapkan Aturan SAF 1 Persen Mulai 2026 Demi Langit Lebih Hijau

Indonesia Siapkan Aturan SAF 1 Persen Mulai 2026 Demi Langit Lebih Hijau
Indonesia Siapkan Aturan SAF 1 Persen Mulai 2026 Demi Langit Lebih Hijau

JAKARTA - Sebagai bagian dari langkah menuju transisi energi bersih di sektor transportasi udara, Indonesia tengah mempersiapkan penerapan bahan bakar penerbangan berkelanjutan (sustainable aviation fuel/SAF) atau bioavtur untuk penerbangan internasional. 

Kebijakan ini dirancang untuk mempercepat pengurangan emisi karbon sekaligus menegaskan komitmen Indonesia dalam mendukung target keberlanjutan global.

Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kini tengah menyusun draf regulasi yang akan menjadi dasar penerapan wajib SAF di bandara internasional utama, yaitu Jakarta dan Bali, mulai tahun 2026.

Langkah ini menandai upaya serius pemerintah untuk membawa industri aviasi nasional ke arah yang lebih ramah lingkungan sekaligus memperkuat posisi Indonesia di antara negara-negara yang sudah mulai menggunakan bahan bakar hijau untuk sektor penerbangan.

Tahapan Penerapan SAF: Mulai dari 1% di 2026

Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Edi Wibowo, mengungkapkan bahwa rancangan aturan penerapan SAF kini memasuki tahap penyusunan akhir.

“Aturan mengenai penerapan bertahap SAF sedang dalam proses penyusunan, dengan usulan penerapan awal sebesar 1% mulai 2026,” ujar Edi, dikutip dari Reuters.

Dalam rancangan tersebut, Indonesia menargetkan peningkatan kadar campuran SAF secara bertahap hingga mencapai 5% pada tahun 2035. Skema ini dibuat untuk memberikan waktu adaptasi bagi maskapai dan industri bahan bakar nasional dalam mempersiapkan infrastruktur serta kapasitas produksi yang memadai.

Kebijakan ini sejalan dengan tren global yang mendorong sektor penerbangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan anggota Uni Eropa telah lebih dulu mengadopsi kewajiban campuran SAF dalam jumlah tertentu sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi transportasi udara.

Potensi Produksi SAF dari Minyak Jelantah

Salah satu kekuatan utama Indonesia dalam mengembangkan SAF terletak pada ketersediaan bahan baku minyak jelantah (used cooking oil/UCO).

Lembaga kajian Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) memperkirakan, Indonesia memiliki potensi untuk memproduksi 3–4 juta kiloliter minyak jelantah per tahun. Jumlah ini cukup besar untuk menjadi pasokan utama bahan baku SAF domestik, sekaligus mengurangi limbah minyak goreng yang selama ini belum termanfaatkan optimal.

Rencana pemerintah ini juga sejalan dengan langkah Pertamina, yang telah lebih dulu memulai produksi SAF berbasis minyak jelantah di salah satu unit kilangnya. Perusahaan energi milik negara tersebut bahkan berencana mengonversi dua kilang tambahan agar mampu mengolah bahan bakar dari minyak jelantah secara berkelanjutan.

Kebijakan ini bukan hanya mendukung target dekarbonisasi nasional, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru dari limbah rumah tangga yang dulunya dianggap tidak bernilai.

Pertamina Dorong Ekonomi Sirkular Lewat SAF

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Transformasi dan Keberlanjutan Bisnis Pertamina, Agung Wicaksono, menegaskan bahwa pengembangan SAF menjadi salah satu fokus utama perusahaan dalam mendukung agenda transisi energi nasional.

Menurut Agung, bioavtur berbasis minyak jelantah tidak hanya berperan penting dalam menekan emisi karbon, tetapi juga berkontribusi pada pembentukan ekonomi sirkular yang melibatkan masyarakat.

“Kami telah menggunakan SAF dari minyak goreng masyarakat untuk penerbangan. Jadi, ini bukan hanya soal pengurangan emisi karbon, tetapi juga bagian dari ekonomi sirkular karena masyarakat dapat menukar minyak jelantah menjadi rupiah, yang kemudian diolah menjadi bahan bakar berkelanjutan dan efisien,” jelas Agung.

Pertamina mencatat bahwa penggunaan SAF dapat menurunkan emisi karbon hingga 84% dibandingkan dengan bahan bakar avtur konvensional. Angka ini menjadi bukti nyata bahwa sektor energi nasional siap menghadapi perubahan menuju praktik bisnis yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Tantangan di Balik Produksi SAF

Meski potensi besar terbuka lebar, biaya produksi SAF yang tinggi masih menjadi tantangan utama dalam implementasi kebijakan ini. Proses konversi minyak jelantah menjadi bahan bakar siap pakai membutuhkan teknologi canggih serta investasi besar dalam riset dan infrastruktur.

Saat ini, harga SAF di pasar global masih berkisar dua hingga tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan avtur fosil. Karena itu, para pelaku industri berharap pemerintah dapat memberikan insentif fiskal, seperti keringanan pajak atau subsidi bahan baku, agar harga SAF dapat lebih kompetitif bagi maskapai penerbangan.

Selain itu, dibutuhkan kolaborasi lintas sektor, termasuk pemerintah daerah, lembaga riset, dan pelaku UMKM, untuk memastikan pasokan bahan baku minyak jelantah tetap berkelanjutan tanpa mengganggu rantai pasok minyak sawit nasional.

Langkah Strategis Menuju Penerbangan Rendah Emisi

Rencana penerapan SAF mulai 2026 menjadi salah satu tonggak penting dalam peta jalan dekarbonisasi Indonesia. Upaya ini melengkapi kebijakan lain di sektor energi, seperti mandatori biodiesel B35 dan pengembangan hidrogen hijau untuk industri.

Dengan memberlakukan campuran awal 1% SAF untuk penerbangan internasional di Jakarta dan Bali, Indonesia mengambil posisi sebagai salah satu pelopor penerapan bahan bakar hijau di Asia Tenggara. Bandara Soekarno-Hatta dan I Gusti Ngurah Rai yang menjadi pusat lalu lintas udara internasional diharapkan dapat menjadi pilot project penerbangan rendah emisi.

Jika berjalan sesuai rencana, pada 2035 kadar campuran 5% SAF dapat tercapai dengan dukungan industri bahan bakar domestik yang lebih matang dan sistem pengumpulan minyak jelantah yang terintegrasi secara nasional.

Menuju Langit Lebih Bersih dan Berkelanjutan

Rencana Indonesia untuk mengimplementasikan SAF bukan hanya langkah menuju energi bersih, tetapi juga simbol komitmen nasional terhadap keberlanjutan. Dengan mengubah limbah minyak goreng menjadi bahan bakar pesawat, Indonesia menunjukkan bagaimana inovasi lokal dapat menjawab tantangan global.

Melalui kerja sama pemerintah, industri, dan masyarakat, transisi menuju aviasi rendah emisi bukan lagi sekadar wacana.

Penerapan campuran SAF 1% di 2026 bisa menjadi awal baru bagi sektor penerbangan Indonesia—sebuah perjalanan menuju langit yang lebih bersih, hijau, dan berkelanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index