JAKARTA - Harga minyak global terus mengalami tekanan dan pada Rabu, 15 Oktober 2025 mencapai level terendah dalam lima bulan terakhir. Faktor utama penurunan ini adalah meningkatnya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China, dua negara dengan konsumsi minyak terbesar di dunia.
Selain itu, prediksi surplus pasokan dari Badan Energi Internasional (IEA) untuk 2026 turut memperburuk sentimen pasar.
Berdasarkan data Reuters, harga minyak mentah Brent turun 48 sen atau 0,8% menjadi US$ 61,91 per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat melemah 43 sen atau 0,7% ke posisi US$ 58,27 per barel. Harga tersebut menjadi level penutupan terendah sejak 7 Mei dan menandai penurunan selama dua hari berturut-turut.
Bank of America bahkan memperingatkan kemungkinan harga Brent turun di bawah US$ 50 per barel apabila ketegangan perdagangan meningkat dan produksi OPEC+ terus bertambah. Situasi ini mengindikasikan bahwa gejolak geopolitik dan fundamental pasar minyak sedang berada pada fase krusial.
Perang Dagang Picu Kekhawatiran Pasar Global
Dalam sepekan terakhir, AS dan China kembali saling melancarkan kebijakan dagang proteksionis. Keduanya mengenakan biaya pelabuhan tambahan terhadap kapal yang mengangkut kargo di antara kedua negara. Aksi saling balas ini dikhawatirkan dapat mengganggu rantai pasok global, terutama sektor energi dan bahan mentah.
Pemerintah China juga meningkatkan kontrol ekspor tanah jarang, yang merupakan komponen penting dalam berbagai industri strategis. Sementara Presiden AS Donald Trump mengancam akan menaikkan tarif barang-barang China hingga 100% dan memperketat pembatasan ekspor perangkat lunak mulai 1 November.
“Washington tidak ingin meningkatkan eskalasi konflik perdagangan,” ujar Menteri Keuangan AS Scott Bessent pada Rabu. Ia juga menambahkan bahwa Presiden Trump siap bertemu Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan pada akhir bulan ini untuk membahas situasi tersebut.
Dampak Ekonomi Global dan Potensi Pemangkasan Suku Bunga
Ketegangan perdagangan ini bukan hanya berdampak pada arus logistik, tetapi juga memperdalam tekanan terhadap perekonomian China. Tekanan deflasi terus berlanjut, dengan harga konsumen dan produsen turun pada September. Krisis sektor properti yang belum pulih ikut memperburuk kondisi ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut.
Gubernur The Fed, Stephen Miran, menyebut bahwa konflik perdagangan AS-China menimbulkan risiko penurunan material terhadap prospek ekonomi global. Oleh karena itu, bank sentral AS kemungkinan perlu memangkas suku bunga acuan untuk menopang pertumbuhan dan menjaga stabilitas permintaan minyak dunia.
Sinyal pelonggaran kebijakan moneter ini sejalan dengan data penjualan ritel AS yang tetap menunjukkan kenaikan, meski sebagian besar dipicu oleh peningkatan harga barang. Dorongan moneter diharapkan mampu memberikan stimulus terhadap permintaan energi dalam jangka menengah.
IEA Prediksi Surplus Pasokan Tahun Depan
Selain ketegangan dagang, laporan IEA pada Selasa turut memperburuk sentimen pasar. Lembaga tersebut memperkirakan pasar minyak global akan mengalami surplus hingga 4 juta barel per hari pada 2026. Angka ini lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya.
Surplus tersebut dipicu oleh peningkatan produksi dari negara-negara OPEC+ serta produsen minyak lainnya, sementara pertumbuhan permintaan global masih melambat. Kondisi ini memberi tekanan tambahan pada harga minyak dunia yang sudah tertekan oleh ketidakpastian ekonomi global.
Sanksi Barat terhadap Rusia dan Produksi Minyak Azerbaijan
Tekanan terhadap pasar energi juga datang dari kebijakan sanksi. Inggris pada Rabu mengumumkan sanksi baru terhadap dua perusahaan minyak raksasa Rusia, yakni Lukoil dan Rosneft, serta 51 kapal tanker bayangan. Langkah ini merupakan bagian dari upaya memperketat sanksi energi terhadap Moskow dan membatasi pendapatan Kremlin di tengah konflik Ukraina.
Rusia sendiri masih menjadi produsen minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah AS pada 2024. Setiap sanksi tambahan berpotensi mempersempit suplai global, meski peningkatan produksi dari negara lain mungkin mengimbangi kekurangan tersebut.
Sementara itu, Azerbaijan melaporkan penurunan produksi sebesar 4,2% menjadi 20,7 juta metrik ton pada Januari–September 2025 dari 21,6 juta metrik ton pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini turut menambah kompleksitas dinamika suplai global.
Inventaris Minyak AS Jadi Sorotan Pasar
Selain faktor geopolitik dan pasokan global, pelaku pasar juga menanti rilis data inventaris minyak AS dari American Petroleum Institute (API) dan Badan Informasi Energi AS (EIA). Data ini akan keluar pada Rabu dan Kamis, sehari lebih lambat dari biasanya karena libur nasional pada awal pekan.
Analis memperkirakan stok minyak mentah AS naik sekitar 0,3 juta barel dalam sepekan terakhir. Jika benar, ini akan menjadi kali pertama persediaan meningkat selama tiga minggu berturut-turut sejak April. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun lalu stok justru turun 2,2 juta barel, sedangkan rata-rata lima tahun terakhir menunjukkan kenaikan 1,1 juta barel.
Data stok ini sangat diperhatikan pasar karena menjadi indikator langsung keseimbangan pasokan dan permintaan di Amerika Serikat, konsumen minyak terbesar di dunia.
Harga Minyak Berpotensi Tertekan Lebih Dalam
Dengan kombinasi faktor ketegangan perdagangan, proyeksi surplus pasokan, dan dinamika sanksi energi global, harga minyak dunia diperkirakan masih akan berada dalam tekanan. Jika konflik dagang AS-China terus meningkat, potensi penurunan harga hingga di bawah US$ 50 per barel bukanlah hal mustahil, sebagaimana diperingatkan Bank of America.
Sementara itu, potensi stimulus dari bank sentral atau kebijakan fiskal dari negara-negara besar mungkin dapat memberikan sedikit dukungan terhadap permintaan energi. Namun, pemulihan harga kemungkinan akan membutuhkan waktu dan kejelasan arah kebijakan dagang global.
Penurunan harga minyak ke level terendah dalam lima bulan terakhir menjadi cerminan dari ketidakpastian ekonomi global. Ketegangan perdagangan antara AS dan China menjadi faktor dominan yang menekan permintaan, sementara prediksi surplus pasokan IEA memperburuk kondisi pasar.
Sanksi terhadap Rusia, penurunan produksi Azerbaijan, dan peningkatan stok minyak AS turut membentuk dinamika harga minyak dunia yang semakin kompleks. Dalam jangka pendek, pasar akan terus mencermati langkah kebijakan dari negara-negara besar dan arah geopolitik global untuk menentukan pergerakan harga selanjutnya.