Pertalite (RON 90)

Pertamina Patra Niaga Tegaskan Pertalite Sesuai Spesifikasi Pemerintah

Pertamina Patra Niaga Tegaskan Pertalite Sesuai Spesifikasi Pemerintah

JAKARTA - Kabar dugaan pencampuran etanol dalam bahan bakar Pertalite kembali mencuat dan memicu perdebatan publik di media sosial. Video amatir yang memperlihatkan dua lapisan cairan setelah Pertalite dicampur air dengan cepat dianggap sebagai bukti adanya etanol. Padahal, secara ilmiah, bensin memang tidak dapat bercampur dengan air karena perbedaan sifat kimia bensin bersifat non-polar, sedangkan air polar. Fenomena itu alami dan bukan indikasi adanya bahan aditif ilegal.

PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina Patra Niaga, menegaskan bahwa produk Pertalite (RON 90) yang beredar di seluruh SPBU tidak diproduksi dengan tambahan etanol. “Kami mengimbau masyarakat agar tidak mudah mempercayai atau menyebarkan informasi yang belum terverifikasi kebenarannya,” ujar Pj. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Roberth MV Dumatubun, dalam keterangannya di Jakarta, Senin (13/10).

Roberth menjelaskan bahwa Pertalite merupakan produk bensin berbasis hidrokarbon hasil kilang (gasoline base), bukan bioetanol. “Hal tersebut telah dibuktikan melalui uji laboratorium resmi yang memastikan seluruh produksi Pertalite sesuai spesifikasi pemerintah melalui Kementerian ESDM. Tidak ada penambahan etanol dalam proses produksi maupun distribusi,” tegasnya. Pertamina Patra Niaga juga menekankan bahwa seluruh produk BBM menjalani quality control ketat di setiap tahap rantai pasok hingga ke SPBU.

Menurut Roberth, kesalahpahaman ini muncul karena adanya percobaan mencampur Pertalite dengan air tanpa pengawasan yang benar. “Munculnya lapisan di bawah setelah dikocok adalah air dan sedikit komponen gasoline yang bersifat polar dan larut sebagian. Fenomena ini normal dan dapat terjadi pada semua jenis bensin di dunia,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa percobaan tanpa alat terkalibrasi tidak dapat dijadikan dasar ilmiah dan justru menyesatkan publik.

Menanggapi maraknya isu ini, Romadhon Jasn, Direktur Gagas Nusantara, menilai fenomena tersebut menggambarkan betapa cepatnya opini publik terbentuk tanpa proses verifikasi. “Kita hidup di masa ketika opini lebih cepat dari logika. Sedikit saja ada kritik, meski belum tentu benar, langsung dinarasikan seolah Pertamina bersalah,” ujarnya. “Isu semacam ini sengaja dibiakkan untuk menciptakan kebingungan, bukan pemahaman.”

Romadhon mengapresiasi langkah cepat Pertamina yang memberikan klarifikasi terbuka, namun menilai literasi publik tetap menjadi kunci utama. Ia mengingatkan bahwa tanpa edukasi berkelanjutan, isu serupa akan mudah muncul kembali. “Masyarakat perlu belajar membedakan rasa penasaran dengan kecerobohan. Isu energi tidak bisa disimpulkan dari video pendek di media sosial,” katanya.

Ia juga menyoroti dampak sosial dari disinformasi terhadap moral pekerja Pertamina yang terus menjadi sasaran tudingan publik. “Mereka ini garda depan yang memastikan energi tetap mengalir ke seluruh penjuru negeri. Ironis kalau mereka justru dituduh tanpa dasar, sementara mereka yang menyalakan lampu di rumah kita setiap hari,” ujar Romadhon dengan nada reflektif.

Romadhon mengingatkan bahwa menjaga kepercayaan publik terhadap institusi energi nasional sama pentingnya dengan menjaga kedaulatan negara itu sendiri. “Ketika kepercayaan publik terhadap pengelolaan energi runtuh, yang diuntungkan bukan bangsa ini, tapi pihak luar yang menunggu di tikungan,” tegasnya.

Ia menilai, kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci melawan arus disinformasi yang semakin masif. “Karena pada akhirnya, melawan kebohongan bukan tugas satu lembaga, tapi tugas setiap warga yang masih punya akal dan nurani,” pungkas Romadhon.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index